PADA zaman penjajahan di Kalimantan
dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan
senapan dengan teknologi mutakhir pada
masanya, sementara prajurit Dayak
umumnya hanya mengandalkan sumpit.
Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang
prajurit Dayak diterjang peluru.
Penyebab yang membuat pihak penjajah
gentar itu adalah anak sumpit yang beracun.
Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit
Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan
getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam
kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
"Makanya, tak heran penjajah Belanda
bilang, menghadapi prajurit Dayak itu
seperti melawan hantu," tutur Pembina
Komunitas Tarantang Petak Belanga,
Chendana Putra, di Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2011). Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba
saja satu per satu serdadu Belanda terkapar,
membuat sisa rekannya yang masih hidup lari
terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas
dengan tembakan, dampak timah panas
ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak
sumpit pada bagian tubuh mana pun, para
serdadu Belanda yang awalnya kejang-
kajang akan tewas. Bahkan, bisa jadi dalam
hitungan detik mereka sudah tak bernyawa. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak
dan bukan pada bagian yang penting, peluru
tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat
beberapa minggu, mereka pun siap berperang
kembali.
Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu amat
mendukung pergerakan mereka di hutan
rimba.
"Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda
di Kalimantan umumnya hanya
terkonsentrasi di kota-kota besar tapi tak
menyentuh hingga pedalaman," Chendana.
Tak hanya di medan pertempuran, sumpit
tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk
dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau
babi hutan tak akan bisa lari jauh. "Apalagi,
tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat
lagi," katanya.
Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit karena rasanya
pahit. Uniknya, hewan tersebut aman jika
di makan. "Mereka yang mengonsumsi daging
buruan tak akan sakit atau keracunan," kata
Chendana.
Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari
sambil terkencing-kencing.
"Bukan sekadar istilah, dampak itu memang
nyata secara harfiah. Orang atau binatang
yang kena anak sumpit, biasanya kejang-
kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas," tambah Chendana.
sumber
http://kompas.com/read/2011/06/02/14431016/Sumpit.Dayak.Lebih.Ditakuti.Dari.Peluru
orang Dayak juga sekarang juga sudah menyerap arus globalisasi dan modernisasi, tetapi tetap memfilter dan menjalankan budaya.
Bahkan militer sekarang pun, terutama di Kalimantan membentuk pasukan khusus penyergap dengan sumpit sebagai salah 1 senjatanya disamping senjata api dan peledak.
Ini beritanya gan :
Penggunaan SUMPIT oleh Yonif Raider
Raider Bersumpit
“Senjata sumpit ini memang hebat dan tidak kalah dengan senjata api, pistol ataupun senapan. Oleh karenanya, satuan ini menjadi tertarik mengadopsinya menjadi salah satu peralatan tempur prajurit dan mengkombinasikannya dengan senjata organik militer mereka, Untuk dipergunakan bagi kepentingan tugas.”
Sebagai satuan tempur yang memang dalam kehidupan kesehariannya bergaul dengan senjata mematikan untuk membunuh musuh, maka Yonif 600/Raider yang bermarkas di Kalimantan ini terinspirasi oleh senjata yang biasa dipergunakan oleh Suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Senjata Sumpit yang biasa diguakan oleh Suku Dayak ini untuk berburu binatang, dengan menggunakan anak sumpil yang ujungnya diberi racun dari ramuan getah tumbuh-tumbuhan dan bisa binatang buas, dapat menimbulkan efek kematian yang relatif singkat pada sasaran yang disumpitnya.
Realisasinya, pada Pebruari 2003 satuan ini membentuk “Tim Sumpit”, yang
personelnya diambil dari para prajurit batalyon keturunan asli Dayak. Sebulan kemudian,Yonif 600/Raider mendatangkan pelatih dari tokoh Dayak Pedalaman yang terkenal dengan sumpit beracunnya untuk melatih 25 orang prajurit tentang cara penggunaan sumpit dan pembuatan racun yang dipakai untuk anak sumpit.
Memang, sebelum masuk menjadi tentara, kedelapan puluh lima orang prajurit itu sudah terbiasa menggunakan sumpit dalam kehidupan sehari-harinya untuk berburu hewan di hutan. Namun didalam penggunaan ramuan yang dipakai untuk anak sumpit berbeda-beda, karena mereka berasal dari bermacam-macam Suku Dayak. Agar terdapat kesamaan dalam penggunaan ramuan racun anak sumpit, yang menghasilkan racun yang sangat bagus, mematikan dan ccpat rcaksinya, makamercka dibimbing sclama tiga bulan oleh para tokoh Suku Dayak pedalaman Kalimantan itu. Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan tentang bagaimana cara membawa dan teknik menggunakan senjata sumpit di medan pertempuran, mengingat mereka juga harus tetap membawa perlengkapan perorangan, termasuk ransel dan sejata api.
Setelah latihan selesai, lalu keduapuluhlima orang prajurit itu disebar kekompi-kompi dan pada setiap seminggu sekali mereka memberikan pelatihan kepada rekan-rekannya yang lain, agar seluruh anggola Yonif 600/ Raider mampu menggunakan sumpit.
Inisiatif dan upaya keras untuk menjadikan Sumpit sebagai senjata prajurit ini ternyata tidaklah sia-sia. Terbukti saat Yonif 600/ Raider bertugas ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 2004¬2005, personel Tim Sumpit yang disebar ke dalam tiap-tiap tim, dengan pembagian di setiap tim terdapat tiga hingga empat orang prajurit berkemampuan menggunakan senjata Sumpit, berhasil membunuh empat orang. pemberontak GAM, sekaligus menyila empat pucuk senjata AK-47 yang mereka pakai.
Ceritanya, pada Pebruari 2004 saat “Tim Anas-1 Kipan A Yonif 600/Raider yang dipirnpin Lettu Inf Mulyadi melaksanakan penyergapan di Kampung Blang Sukun, Pidie. Ketika itu, tim dibagi menjadi empat kelompok, salah sulu tim dipimpin Oleh Kopda Impung Upai, salah satu personel “Tim Sumpit, yang jabatan sehari-harinya di satuan adalah sebagai Tamtama Penembak SMR (Senapan Mesin Ringan). Sebelum kelompok lain masuk kedudukan, Kelompok-4 yang dipinpin Kopda Impung Upai, putra asli Dayak kelahiran Datah Bilang, Tenggarong 6 .luli 1977 ini adalah kelompok yang pertama kali masuk kedudukan. Saat akan masuk, terlihat satu orang pos tinjau GAM lengkap dengan senjata AK 47 sedang berjaga-jaga. Agar gerakan tetap rahasia dan kehadiran pasukan tidak diketahui musuh, Kopda Impung Upai lalu melumpuhkan pos tinjau tersebut dengan menggunakan sumpit. Anak sumpit tepat mengenai leher bagian belakang anggota GAM itu. Tidak lebih dari 10 detik, orang itu roboh dengan tidak menimbulkan suara berisik . Senjata lain mereka ambil. Dengan tewasnya pos tinjau GAM tersebut, kelompok lain dari pasukan Yonif 600/Raider dapat masuk kedudukan dengan aman tanpa diketahui GAM dan penyergapanpun dapat dilaksanakan dengan sukses tanpa ada korban dari pihak kawan.
Raider menggunakan sumpit sebagai senjata mematikan untuk menghadapi musuh di dalam penugasan inilah, yang merupakan ciri khas Yonif 600/Raider dan membedakan satuan kami dengan satuan raider lainnya di Indonesia” Danyonif 600/Raider letkol Inf R. Haryono. Penggunaan sumpit memang sangat cocok untuk pasukan raider, yang salah satu semboyannya adalah “senyap dalam bergerak”. Selain untuk menjaga kerahasiaan gerak pasukan,juga untuk “bunuh senyap”. Keberadaan senjata sumpit terasa tepat menggantikan fungsi senjata berperedam, yang Iebih diperuntukkan bagi aksi pertempuran kota atau Pertempuran .larak Dekat (PJD) dan tidak dipergunakan untuk medan-medan penugasan berupa hutan.
Dengan mempelajari kesuksesan penggunaan sumpit di medan tugas, maka sampai sekarang Yonif 600/Raider tetap memelihara kemampuan personelnya dalam menggunakan sumpit dan menjadikan penggunaan sumpit sebagai kualipikasi seluruh personel Yonif 600/Raider, sekaligus melakukan regenerasi personel Tim Sumpit dengan merekrut para prajuril batalyon yang berasal dari etnis Dayak. Suku Dayak mengenal berbagai macam senjata yang biasa digunakan untuk berburu dan berperang pada zaman dahulu atau untuk kegunaan sehari-hari, seperti di ladang. Misalnya sumpitan (sipet), mandau, lonjo (tombak), perisai (telawang), dan taji.
Senjata sumpit berupa buluh dari batang kayu bulat sepanjang 1,9 meter hingga 2,1 meter. Sumpit harus terbuat dari kayu keras seperti kayu ulin, tampang, lanan, berangbungkan, rasak, atau kayu plepek. Diameter sumpit dua hingga tiga sentimeter yang berlubang di bagian tengahnya, dengan diameter lubang sekitar satu sentimeter. Lubang ini untuk memasukkan anak sumpit atau damek. Secara tradisional, kalau ingin tepat sasaran dan kuat bernapas, panjang sumpit harus sesuai dengan tinggi badan orang yang menggunakannya, Bagian yang paling penting dari sumpitan, selain batang sumpit, yaitu pelurunya atau anak sumpitnya yang disebut damek. Ujung anak sumpit runcing, sedang bagian pangkal belakang ada semacam gabus dan sejenis dahan pohon agar anak sumpit melayang saat menuju sasaran.Racun damek oleh etnis Dayak Lundayeh disebut parir. Racun yang sangat mematikan ini merupakan campuran dari berbagai getah pohon, ramuan tumbuhan serta bisa binatang seperti ular dan kalajengking. Selain beracun, kelebihan yang dimiliki senjata ini dibandingkan dengan senjata khas Dayak lainnya, yakni kemampuan mengenai sasaran dalam jarak yang relatif jauh. Jarak efektif bisa mencapai puluhan meter, tergantung kemampuan si penyumpit. Selain itu, senjata ini juga tidak menimbulkan bunyi. Unsur senyap ini sangat penting saat mengincar musuh maupun binatang buruan yang sedang lengah.
(Sumber : Majalah Defender)
Nih pic nya :
0 comments:
Post a Comment