TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Para penyandang cacat atau different ability (difabel) di Kota Bandung dan sekitarnya mengaku kebingungan berkendaraan, khususnya bersepeda motor. Pasalnya, banyak di antara mereka yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) D dan ada yang bingung mengurus SIM khusus bagi difabel tersebut.
Sehari-hari puluhan sepeda motor hasil modifikasi yang digunakan penyandang cacat berseliweran di ruas-ruas jalan Kota Bandung dan kota lain di Jawa Barat. Mereka juga memiliki hak untuk berkendara. Namun ternyata banyak di antara mereka yang terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena tidak memiliki SIM.
"Selama ini, polisi juga mungkin bingung mau menilang. Antara kasihan atau gimana kepada kami (difabel). Tapi, di sisi lain kami juga sebenarnya tidak nyaman karena enggak punya SIM. Alasannya beragam. Mulai yang tidak tahu sampai yang malu karena menyatu dengan pemohon yang lain yang bukan difabel. Belum lagi ada yang khawatir tidak lulus praktik dan mengulang lagi. Kami berharap ada sosialisasi dari kepolisian tentang hal ini," ujar Jumono WS (45), koordinator Motor Difabel (Modif) Jabar, saat ditemui di Kantor Badan Pengelola Olahraga Cacat (BPOC), Jalan Pajajaran, Bandung, beberapa waktu lalu.
Pria murah senyum ini mengaku, dua tahun dia menggunakan modif yang dirakit di bengkel temannya hingga menghabiskan biaya hampir Rp 3 juta, tapi belum memiliki SIM D. Menurut Jumono, waktu itu dia tidak mengerti prosedur yang harus ditempuh untuk membuat SIM D.
Jumono pun tidak tahu siapa saja yang sudah memiliki SIM D dari 40 orang lebih rekannya di Bandung yang biasa menggunakan modif. Hanya saja, menurut informasi yang diketahui Jumono, baru beberapa orang difabel yang memiliki SIM D.
Menjelang Hari Disabilitas Internasional yang diperingati 3 Desember, beberapa lembaga penyandang cacat di Jabar, termasuk Jumono, akan melakukan audiensi dengan Dirlantas Polda Jabar untuk mempertanyakan prosedur dan seluk-beluk SIM D. Pasalnya, kata pria yang memiliki cacat fisik ini, sosialisasi tentang SIM D belum sampai kepada mereka.
Jumono mengungkapkan, para difabel di Kota Bandung dan Jabar berharap mendapat kemudahan dalam aksesibilitas pengurusan SIM dan penggunaan modif karena saat ini kendaraan tersebut menjadi kebutuhan mereka dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mobilitas menggunakan modif, mereka ingin hidup mandiri, menikmati hidup secara layak, seperti warga pada umumnya.
"Saat mengurus SIM, ada difabel yang sudah sampai ke tempat pembuatanSIM, tapi mereka bingung harus ke mana dan bagaimana prosedur pembuatannya. Tidak ada yang mengarahkan. Yang malu juga ada, terutama untuk mengurusnya, ada yang tidak mengetahui jalurnya harus apa saja," ujar Ricky, salah seorang pengguna modif yang tinggal di kawasan timur Kota Bandung.
Pria berkacamata ini mengaku sudah sejak 2006 menggunakan modif dan selama itu pula Ricky tidak memiliki SIM. Alasan Ricky belum memiliki SIM D tak jauh berbeda dengan Jumono dan difabel lainnya, yaitu ketidaktahuan prosedur yang harus ditempuh untuk mendapatkannya.
Selain itu, Ricky berharap agar dia bisa bersama-sama para difabel lainnya mengikuti tes atau praktik bersama. Lebih kepada kebersamaan, mengingat pengguna modif di Bandung saat ini sudah cukup banyak. Ia pun kerap berkumpul bersama para difabel di Jalan Pajajaran, Bandung.
Belakangan, pada hari-hari tertentu kerap ada acara latihan mengendarai modif bersama-sama. Hak para difabel untuk memiliki SIM D sebenarnya sudah diatur dalam Undang- Undang Lalu Lintas No 22/2009. UU itu juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah RI No 50 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak, terdapat peraturan baru, yakni penerbitan SIM D (Khusus Penyandang Cacat).
Hak difabel memperoleh SIM D sebenarnya sama dengan para pemohon SIM dari kalangan lain. Pemohon SIM D ini juga harus melakukan beberapa tes, antara lain tes kesehatan, ujian teori, dan ujian praktik. Hampir tidak ada perbedaan antara pemohon SIM D dengan pemohon SIM yang lain.
Namun pada waktu ujian praktik, pemohon SIM D menggunakan modif. Sepeda motor yang dipakai untuk ujian praktik adalah milik masing-masing. Biaya yang dikeluarkan pun tidak mahal. Jika biaya pembuatan SIM A Rp 120 ribu untuk pemohon SIM baru, dan SIM C Rp 100 ribu untuk pemohon
baru, biaya untuk SIM D hanya Rp 80 ribu bagi pemohon baru dan Rp 50 ribu untuk perpanjangan.
Berdasarkan pantauan Tribun, tidak terlihat adanya penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi para difabel di Satlantas Polrestabes Bandung, khusus pembuatan SIM D. Namun jika para difabel datang,
petugas akan melayani. Di sisi lain, beberapa fasilitas seperti halnya ruang tunggu atau toilet bagi para difabel juga belum optimal.
Fasilitas itu masih digunakan bagi para pemohon SIM dari kalangan masyarakat umum. Berdasarkan data yang dihimpun Tribun, sepanjang Januari hingga November 2012 di Satlantas Polrestabes Bandung tercatat 12 orang difabel yang membuat SIM D. Adapun sepanjang Januari hingga November 2012 tercatat 19 orang difabel yang memperpanjang SIM D. (Dicky Fadiar Djuhud)
sumber :http://www.kaskus.co.id/thread/50bcbc0b562acfc146000000
0 comments:
Post a Comment